ADH
(Arti
Dari Hijrah)
Oleh
Amanda Chindy Patrechia
Seorang anak dari
sepasang suami istri yang hidup sederhana tinggal disebuah desa kecil bernama
Agungmulyo Rt 02 Rw 01, memiliki seorang ayah yang pekerja keras, apapun macam
pekerjaannya ia lakukan demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Serta seorang ibu
yang bisa dikatakan seorang bidadari, bidadari yang mampu mengubah rumah kecil
bak istana bagi keluarga kami, bidadari yang mampu menghasilkan pundi pundi
rupiah demi membantu tugas seorang suami. Tanpa kenal lelah mereka mengais
pundi pundi rupiah, tanpa kenal waktu mereka mencarikan uang jajan untuk
anak-anaknya. Saat sepertiga malam telah tiba, ku mencoba menguping pembicaraan
bidadari tersebut dengan sang pemberi rezeki. Ku dengar rintihan doa terucap
dalam lantunan doa beliau. Doa agar mereka mampu membahagiakan anak mereka.
Tujuh
belas tahun yang lalu tepatnya tanggal 31 Juli 2001, seorang anak perempuan
dilahirkan, tepatnya anak itu adalah aku. Dimana aku ini memiliki nama Amanda
Chindy Patrechia. Dalam proses datangnya aku di dunia ini ada banyak hal unik
terjadi, seolah-olah ini pertanda akan ada hal hal unik dalam perjalanan
kehidupanku nanti. Sebelum aku dilahirkan, dokter telah mengatakan bahwa calon
anak dari orang tuaku adalah laki-laki, hal itu telah dibuktikan lewat media
ultrasonografi di salah satu rumah sakit di Pati. Tetapi, pada kenyataannya,
aku telah direstui Tuhan untuk dilahirkan sebagai seorang wanita. Bukan hanya
itu, dalam proses kelahiranku berbeda dengan orang normal biasanya. Kalau
biasanya bayi lahir dari kepala terlebih dahulu, lain dengan aku, kakiku telah
merasakan bumi untuk pertama kalinya.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi
tahun telah kulewati dengan nama Chindy kecil. Chindy merupakan anak pertama
dari Edi Kunarso dan Rumiati, yang tinggal disebuah gubuk kecil yang mungkin
tidak bisa dibilang sebuah rumah. Namun apa daya, kami hanya sebuah keluarga
yang harus menyukuri apapun yang Tuhan berika di dunia ini, dengan harapan
kelak Tuhan akan memberikan rezeki sehingga keluarga kami akan mampu membangun
sebuah rumas kami sendiri. Masih teringat di benakku, ketika aku berusia lima
tahun, aku harus rela ditinggal ayah pergi bekerja di luar negeri, saat itu aku
yang belum tahu apa apa tentang arti kehidupan sebenarnya, aku yang hanya bisa
melihat air mata ibuku setiap malam, tanpa tahu sebenarnya bahwa itu adalah air
mata kerinduan, air mata khawatir terhadap ayahku yang bekerja di luar sana.
“ Ibu, kenapa ibu
menangis ?” tanyaku,
“ Oooh ini, ibu hanya
sedang mengantuk saja, ayo tidur!”, jawab ibu dengan wajah yang menahan tangis
di wajahnya.
Saat itu aku sudah masuk sekolah dasar tepatnya
kelas satu di SD Negeri Agungmulyo, dulu aku sering diejek teman teman, karena
tubuhku yang gemuk, mereka berani mengejekku karena tidak ada ayahku yang
menemaniku saat itu. Disaat itulah aku teringat ayahku, seandainya ayahku tidak
bekerja di luar negeri dan masih ada di sini pasti tidak akan pernah ada orang
yang mengejekku. Tetapi kejadian itu tidak berlangsung lama, tak lama kemudian
ayahku telah tiba dari perantauannya. Kalian tahu apa yang aku rasakan saat
itu, hatiku merasa senang tak terkira, seolah duniaku yang selama ini terpecah
akan kembali utuh. Tuhan mendengarkan doaku, tak lama kemudia kami mampu
membangun rumah kami sendiri. Rumah yang menjadi istana bagi keluarga kami
sendiri.
Masa sekolah dasar kulalui seperti anak anak
lainnya. Enam tahun berlalu aku telah menyelesaikan sekolah dasarku, dan
sekarang waktunya aku masuk ke bangku Sekolah Menengah Pertama. Ini adalah
tahap awal aku berhijrah, yang sebenarnya aku tidak memikirkan efeknya akan
berpengaruh kepadaku. Saat masuk SMP aku mencoba untuk menutupi auratku dengan
menggunakan jilbab waktu sekolah. Walaupun aku harus rela rambut indah yang ku
banggakan tertutupi oleh balutan kain di sekolah. Inilah hal yang kusesali,
mengapa waktu itu aku hanya menutup auratku hanya di sekolah. Aku bagaikan
orang yang munafik, yang hanya menunjukkan kealimannya kepada banyak orang. Dan
saat selesai sekolah aku membuka penutup auratku dan membiarkan auratku dilihat
banyak orang. Baik, kita kembali ke masa SMP ku, sebenarnya aku sangat tidak
percaya diri ketika waktu pertama kali masuk SMP. Ooh iya, saat itu aku sekolah
di SMP N 2 Juwana. Aku menyadari banyak siswa siswi dari SD terbaik di wilayah
Juwana, saat itu aku berpikir tidak mungkin aku akan mendapat peringkat kelas,
apalagi peringkat paralel. Tetapi Tuhan berkehendak lain, waktu ulangan akhir
semester satu, wali kelas mengumumkan bahwa aku mendapat juara satu paralel di
kelas tujuh. Hal inilah yang mendasari rasa percaya diriku hingga mampu
mempertahankan peringkat itu sampai aku luls SMP. Ketika aku kelas delapan aku
juga pernah menjabat sebagai ketua OSIS, hal yang tidak pernah terlintas di
pikiranku waktu itu. Sebelumnya, untuk mengucapkan salam di depan umum saja aku
masih gemetar, tetapi karena aku tergabung dalam organisasi ini, aku berubah
seratus delapan puluh derajat, aku menjadi seseorang yang pemberani karena
sering berpidato di depan umum.
Kenangan yang tak pernah terlupakan dari masa
SMP adalah sahabatku, Firda. Ia merupakan sesorang yang selalu ada di sisiku
saat aku senang maupun susah. Sampai-sampai dulu kami sering disebut saudara
kembar, orang lain mengatakan wajah kami sangat mirip. Selain Firda ada satu
orang yang tak akan terlupakan jasanya, seorang lekaki yang sudah ku anggap
sebagai seorang kakak, seseorang yang selalu menasihati, mengingatkan ketika
aku mengalami kesalahan, dan seseorang itu sering kusebut Kak Wid. Satu kalimat
dari beliau yang tidak bisa kulupakan,
“ Sebenarnya, tujuan
kita hidup di dunia ini untuk apa sih? “,
“ Tujuan kita hidup di
dunia itu hanya untuk mempersiapkan diri menuju kematian.” Sambungnya,
Lewat satu kalimat itu aku mulai mencari
motivasi darinya, motivasi yang membuatku yakin untuk meraih cita citaku. Peran
ayah ibu juga membuatku semakin mantab melangkahkan kakiku untuk menuju
kesuksesanku. Masa SMP, masa dimana aku berubah menjadi seorang gadis yang
sudah mengerti sedikit bagian dari kehidupan. Dari kisah pahit yang dialami
ibuku waktu ayahku di perantauan.
“ Nak, kamu belajar
sungguh sungguh ya, supaya tidak menjadi seperti ibu yang bodoh, jadilah orang
yang pandai, jadilah orang yang sukses agar tidak ada orang yang menjelekanmu
dan mengganggumu.” Ujar ibu,
“ Iya bu, aamiin, tapi
bu apa yang terjadi kenapa wajah ibu terlihat seperti baru menangis ?”, tanyaku
dengan penuh kebingungan.
Akhirnya ibu
menjelaskan bahwa sebenarnya dulu waktu ayah pergi ke perantauan alasan ibu
menangis karena ibu selalu mendapat ejekan dari para tetangga karena rumah kami
yang kecil. Tanpa sadar, air mataku mengalir begitu saja di pipiku. Sejak saat
itu aku harus berani, aku harus berusaha sekuat mungkin untuk bisa meraih cita
citaku.
Tiba saatnya aku harus berpisah dengan mereka,
aku telah selesai dengan pendidikan di SMP, dan aku memilih untuk melanjutkan
pendidikanku di SMA N 1 Juwana. Sebenarnya, untuk masuk disini bukanlah hal
yang mudah. Karena sebelumnya ada banyak mulut yang menyarankanku untuk masuk
di SMA 1 Pati, sekolah terfavorit di Pati. Tapi aku lebih memilih kata hatiku
untuk masuk sekolah di SMA N 1 Juwana. Karena aku yakin semua sekolah itu sama
saja, tergantung kita yang mau serius atau tidak. Jika kita serius pasti akan
ada jalan utuk meraih kesuksesan.
Mereka memilih jalannya masing masing, dan saat
itu pula aku harus berpisah dengan teman lamaku, Firda. Tetapi aku tidak merasa
bersedih, karena saat aku masuk di SMA ini aku menemukan teman yang mampu
membuatku menyadari arti persaudaraan yang tidak aku dapatkan waktu SMP.
“ Hay,”
Satu kata, hanya satu kata yang terucap untuk teman sebangkuku Lisa waktu pertama kali aku
datang ke kelas, dan dia telang datang terlebih dahulu, itulah karakterku. Aku
memang tidak suka banyak bicara kepada orang yang baru aku kenal. Hari demi
haripun berlalu, keakraban mulai tumbuh dengan teman sebangkuku begitu pula
teman sekelasku, betapa beruntungnya aku ketika aku mendapatkan teman yang
baik, ramah. Disini aku akan memfokuskan cerita mengenai hal yang bisa
membuatku berhijrah, aku memiliki tekad kuat untuk berhijrah ketika aku duduk
di bangku SMA. Berawal dari dipertemukan aku dengan seorang ustad yang memiliki
hubungan sebagai murid dan guru denganku. Ustad ini selalu memberikan nasihat,
memperingatkan kewajiban seorang wanita untuk menutupi auratnya dalam
pelajarannya. Mungkin karena saat itu aku belum mendapat hidayang dari Allah,
aku menghiraukan ucapannya, aku masih membuka auratku ketika pulang sekolah.
Alhamdulillah, Tuhan masih sayang kepada aku,
aku mendapat hidayah untuk mengamalkan kewajiban seorang wanita. Walaupun,
untuk bertemu dengan hidayahku aku harus mengalami masa kelamku, masa dimana
aku hampir tersesat jauh dari jalan kebenaran. Waktu itu lupa kalu Allah itu
dzat yang maha pencemburu, Allah mematahkan hatiku seolah ia mengisyaratkan
bahwa aku harus kembali kepadaya. Dengan patah hati ini menyebabkan aku lebih
dekat dengan Tuhan, disaaat aku terpuruk, Tuhan membuatku semakin percaya
dengan kuasanya. Pada tahun yang sama aku memperoleh banyak rezeki yang tak
kuduga sebelumnya. Untuk melupakan kesedihanku dengan cara fokus ke
pendidikanku. Waktu itu aku mengikuti beberapa lomba, dan atas izin Allah aku
mampu mendapat berbagai penghargaan dari usahaku tersebut, selain itu aku mampu
mempertahankan prestasiku di kelas.
Bagaimana mungkin aku tidak takjub dengan kuasa
Allah, di tahun ini ketika aku duduk dibangku kelas dua belas, akhirnya aku
memantabkan hatiku, menguatkan niatku untuk berhijrah, meninggalkan semua
keburukan, semua masa kelamku, dan kubawa lembar amal baru, dengan berdoa, mengharap
dosa dosa lampauku diampuni oleh Tuhan yang maha pemurah. Awalnya untuk memakai
jilbab di rumah, aku mendapat sindiran dari tetangga, tetapi ibuku meyakinkan
kepadaku.
“ Nak, jika kamu ingin
melakukan sesuatu yang benar, maka lakukanlah.Terkadang untuk melakukan hal
yang benar itu akan mendapat cobaan yang lebih berat dari pada melakukan
keburukan” petuah dari ibu.
Seorang ibu yang bisa menjadi seorang teman
curhat, penyemangat dan segalanya bagiku. Petuah yang terucap dari mulut
manisnya semakin membuatku percaya untuk melalui hidup di jalan kebenaran
jalannya Allah. Di saat ini pula aku bisa menjadi Amanda yang dewasa, Amanda
yang mengerti perjuangan orangtuanya untuk bisa mencari pundi pundi rupiah agar
bisa membiayai sekolah putri putrinya. Disini aku mulai berpikir, tidak mungkin
aku menyia-nyiakan perjuangan kedua orang tuaku untuk hal hal yang dapat
menghalangi cita citaku.
Sekarang inilah aku seorang anak remaja yang
beranjak dewasa bernama Amanda Chindy Patrechia yang memulai kehidupan yang
baru, membangun kehidupan yang benar, dengan balutan kain di auratnya dan
balutan di hatinya yang pernah terluka dan mencoba mengobati luka di hatinya
dengan mendekatkan diri kepada Allah, menyerahkan masa depannya kepada Allah,
mempercayakan takdir Allah, seorang anak yang hanya berusaha belajar dan berdoa
dan telah menitipkan masa depan, cita-cita, kisah cinta nya kepada Allah
semata.
Seorang anak yang masih menunggu dengan
menjalani masa masa hidupnya untuk mengetahui kemana takdir akan membawanya
melangkah. Dengan sejuta impian untuk membahagiakan kedua orang tuanya,
melakukan yang terbaik, dan menyukuri atas apa yang dimiliki sekarang. Karena
aku yakin jika kita selalu mengingat Allah, Allah akan selalu bersama dengan
kita, jika ita terjatuh, Allah akan menolong kita, dan jika kita tersesat,
Allah akan menuntun kita kembali ke jalannya yang benar.
terima kasih :3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar