Rabu, 02 Maret 2016

Catatan Langit

Berawal dari ketidaksengajaan aku bertemu dengan Langit. Aku bertemu kembali dengannya sejak aku masuk SMP. Sebelumnya aku telah mengenal Langit. Langit adalah teman yang terpisah selama beberapa tahun. Usia Langit terpaut satu tahun di atasku, meskipun itu, aku tak pernah sekali pun memanggilnya Kakak. Karena kebiasaanku saat kami masih kecil. Langit adalah orang yang pendiam, tidak menyukai keramaian dan pandai menghidupkan suasana. Menurut Langit dia lebih baik menyendiri, ketimbang membuang waktu untuk hal-hal yang tidak penting. Keseharian Langit adalah, membaca komik dan buku ensiklopedia. Tak jarang setiap hari, dia selalu membawa buku ke sekolah demi mengisi waktu istirahatnya. Satu hal, Langit adalah orang yang pandai dalam Matematika dan IPA. Soal serumit apa pun Langit dapat menyelesaikannya. Berbeda denganku yang hanya menguasai bahasa dan Sastra. Langit selalu berbicara tentang kenyataan, sedangkan aku selalu berbicara tentang Khayalan. Itu yang selalu membuat Langit jenuh ketika aku menceritakan hal yang fiksi. Langit begitu banyak menguasai mata pelajaran, sedangkan aku bertolak belakang darinya. Kadang aku iri pada Langit, karena Langit selalu mendapat predikat terbaik di mata guru. Tapi meskipun itu, menurutku Langit adalah orang yang cukup simpati dengan semua orang. Kadang di sela pertemuanku dengan Langit, aku selalu ingin menegurnya. Sebagai teman kecil, aku tak mungkin melupakannya begitu saja. Namun di saat aku ingin menegurnya, aku selalu takut Langit tidak peduli. Dulu, aku selalu berusaha untuk mencari tahu tentang Langit tentang kawan kecilku yang hilang. Tapi sekarang, setelah aku menemukan Langit, aku seolah memendam rasa simpatiku untuknya. Aku sempat berpikir dalam dekapan detik, “Mungkinkah Langit tidak mengenalku lagi?” aku selalu beranggapan seperti itu. Karena aku melihat tingkah Langit, yang jauh berbeda dengan dulu. Mungkin Langit yang sekarang adalah Langit yang tak membutuhkan Bintang, tapi sekali pun itu Bintang akan selalu membutuhkan Langit. Pagi yang cerah, di saat aku hendak masuk ke kelas. Langit menyempatkan diri untuk sekedar menyapaku, aku tak menyangka ternyata Langit masih mengingatku. Bahkan siang ini, dia mengajakku untuk pergi ke perpustakaan hanya sekedar untuk mengajariku Matematika. Langit dari dulu tahu, kalau aku mengeluh dengan pelajaran itu. Bel istirahat telah berbunyi, Langit telah menungguku di luar kelas. Dia kembali menegurku, dan mengingat janjinya untuk mengajakku ke perpustakaan. “Jadi belajar kan hari ini?” Tanya Langit. “Tentu saja.” Balasku lalu kami pun pergi ke perpustakaan. Sesampainya di perpustakaan, Langit tidak mengajariku Matematika. Melainkan mengajariku merangkai kalimat demi kalimat yang disusun indah sehingga menghasilkan sebuah karya sastra yang berbentuk puisi. Sebelumnya, Langit tidak menyukai puisi. Bahkan untuk menerima pelajaran bahasa saja, dia tak mampu. Dia selalu ke luar kelas ketika pelajaran Bahasa sedang berlangsung. Namun berbeda hari ini, aku heran apa terjadi dengan Langit? Langit meminta pendapatku, soal puisinya yang baru saja dia rangkai. Puisi Langit memang sangatlah bagus, aku akui sebagai pemula Langit bisa dikategorikan sebagai penulis yang berbakat. Sebelumnya aku bertanya pada Langit, mengenai kecurigaanku padanya yang mendadak menyukai sebuah puisi. “Langit, sejak kapan kamu menyukai puisi? Padahal kamu selalu menghindar di saat pelajaran Bahasa sedang berlangsung?” Tanyaku sedikit meledek Langit. Langit hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. “Sudahlah itu tidak penting.” Kata Langit dengan segenap candaannya. Lagi-lagi seperti itu, Langit selalu membiarkan mendung menutupi ketulusannya untuk bercerita. Langit pasti akan menghidar, di saat aku bertanya tentang hal baru yang dia lakukan. Padahal apa salahnya? Kenangan dulu seolah terulang kembali, di saat Langit memutuskan untuk menjadi sahabatku lagi. Aku memang menunggu keputusan itu, aku harap aku dapat menghadirkan hujan di saat mendung menutupi ketulusannya. Hari ini, aku dan Langit menghabiskan waktu istirahat di Kantin. Bukannya memesan makanan, Langit malah mengajakku untuk membaca buku. Hal yang paling membuatku jenuh, apalagi jika di dalam buku itu sama sekali tak ada hiasan gambar. Benar-benar hal yang menjenuhkan. Tapi dari sanalah aku mulai menyukai buku. Aku juga mulai menyukai buku yang di dalamnya membahas tentang angka. Aku mulai merasa tidak jenuh dengan angka. Seiring berjalannya waktu, Langit sedikit demi sedikit mulai bercerita. Sekarang aku tahu alasan kenapa Langit mendadak menyukai puisi. Ternyata Langit sedang mengincar seorang perempuan yang tak lain adalah teman sekelasku. Langit bilang dia terlalu jauh untuk ukuran seorang pacar. Dia masih menunggu waktu untuk mengutarakan isi hatinya. Saat di Lapangan Basket, Langit kembali menegurku, dia memberiku sebuah kertas dan memintaku untuk membacanya. Ternyata Langit kembali menulis sebuah puisi, aku tahu pasti dia akan meminta pendapatku mengenai puisinya. Puisi Langit semakin menyakinkan. Aku hanya meresponnya dengan pujian. Aku mengembalikkannya lagi puisi itu pada Langit. Namun Langit menolak, dia bilang, “Ini untukmu, simpan saja sebagai sebuah hadiah.” Setelah berkata itu, Langit kembali ke kelasnya. Keesokan harinya, aku melihat Langit sedang dihukum di depan tiang bendera. Aku baru tahu, ternyata siswa sepandai Langit bisa juga melakukan kesalahan. Aku melewati Langit tanpa mempedulikannya yang sedang berdiri kepanasan di sana. Langit terlihat tampak membenciku, aku yakin setelah ini Langit pasti akan membalasku. Aku tahu persis bagaimana Langit jika diacuhkan. Saat aku kembali ke kelas, aku bertemu dengan Langit. “Aku ingin bercerita.” Ujar Langit, aku hanya membalasnya dengan anggukan. Saat kami sedang berjalan, kami berpapasan dengan Bulan seseorang yang diincar Langit. “Aku selalu merasa tidak normal ketika aku bertemu dengan Bulan.” Ujar Langit sembari menyikut, aku hanya membalasnya dengan senyuman. “Jadi kapan kamu akan menembak Bulan?” Tanyaku. “Entahlah, aku masih betah menjadi pengagum rahasia.” Ujar Langit, kembali membuatku tertawa. Satu minggu berlalu, aku mendapat kabar dari Langit, jika dia telah mendapatkan Bulan. Aku turut bahagia mendengar kabar itu. Tapi aku kecewa pada Langit, semenjak kedekatannya dengan Bulan. Langit jarang menghubungiku, jangankan menghubungi, bercerita saja dia tidak pernah. Bahkan di saat kami bertemu pun Langit jarang menyapaku. Meski aku tahu, aku masih bisa melihat senyumannya. Sekarang aku hanya dapat melihat Langit dari jauh. Sekarang Langit telah berpihak pada Bulan. Sumber kebahagiaan Langit adalah Bulan, mungkin inilah nasib sahabat ketika melihat sahabatnya telah bahagia. Aku selalu mencoba untuk menghindar dari Langit. Aku selalu menjauhinya di saat kami bertemu di jalan. Sekarang aku lebih suka menyendiri, berusaha menemukan binar dalam kesendirian. Karena sendiri tidak harus sepi, dan sepi tidak selalu sunyi. Jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku merindukan Langit. Namun ketidakberdayaanku mengalahkan segalanya. Aku merasa keterpurukanku lengkaplah sudah. Di saat seperti itu, Bulan datang dan menceritakan padaku tentang satu hal dari Langit. Kemudian, Bulan memberikanku sebuah buku kecil berupa Agenda hidup seseorang. Namun aku tidak yakin itu dari Langit. “Ambilah, buku ini dari Langit. Katanya hanya sahabatnya yang dapat membuka buku ini.” kata Bulan, aku tertegun sejenak. Apa maksudnya? Akhirnya aku mengambil buku itu. Perlahan aku mulai membuka buku kecil itu, yang terselipkan kertas biru di dalamnya. Setelah aku melihatnya, membaca halaman demi halamanya. Ternyata diam-diam Langit, selalu menuliskan tentangku di Agenda hidupnya. Bahkan dia menggambar sebuah sketsa, yang menggambarkan aku dengannya. Selama ini, aku telah berburuk sangka pada Langit. Bahkan dia tidak menjauhiku karena Bulan, melainkan karena satu hal yang harus dia kejar demi mewujudkan mimpinya. Seharusnya aku memahami Langit, berusaha mengerti kalau esok Langit akan melaksanakan Ujian. Aku sungguh lupa dengan hal itu. Tapi aku berterima kasih pada Langit, karena dari catatan Langit aku belajar memahami kenyataan, arti hidup, dan sebuah pengorbanan. Terima kasih Langit. Cerpen Karangan: Nelin Aguslina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar