Rabu, 02 Maret 2016

Balada Pipit Muda

Pagi ini memang begitu sepi untuk dinikmati sendiri. Aku hanya bisa melontarkan pandangan jauh dari atas pohon mangga teringat akan kepedihan yang membuat hama sepertiku membangkang kepada Tuhan. Ku lihat daun pohon mangga yang menjadi pijakanku sekarang terjatuh. Terhembus angin jauh hingga tak lagi dapat aku melihat daun kecil itu. “Huhhh…” ku tarik napasku dalam-dalam, ku renungi setiap jengkal masa lalu yang selalu membuat luhku memberontak ke luar dari pelupuk mata. Begitu tragis memang hidupku. Dilahirkan sebagai burung pipit kecil tak berguna. Hanya dapat menjadi hama bagi para manusia-manusia serakah yang membuat hariku belakangan ini menjadi sepi tanpa sebuah tawa. Aku rindu dahulu sebelum semua itu terjadi. Tiap hari tawa selalu menghiasi paruhku begitu juga jiwaku hingga pada hari dimana seluruh saudara beserta ibuku terperangkap jaring yang dipasang lebar-lebar oleh manusia hanya untuk menangkap kaumku. Kebanyakan dari kaumku memang dianggap sebagai hama karena memakani padi yang akan berbuah. Oleh karena itu manusia mengerahkan segala cara untuk menangkap kaumku. Matahari mulai menanjak naik. Panas mulai menyerangku yang sedari tadi hanya diam bertengger di ranting kecil pohon mangga. Kemudian aku terbang lagi mencari tempat yang lebih teduh, hingga aku menemukan sebuah rumah kosong tak bertuan. Ahirnya aku bertengger di pagar rumah itu. Cukup sejuk memang namun belum cukup untuk menyejukkan hatiku yang terbakar amarah. Dalam heningku aku kembali teringat pada Pagi itu. Pagi itu memang sangat indah membuat mataku tak berkedip menikmati keindahan Tuhan yang tak bisa ku nalar bagaimana Tuhan menciptakan itu semua. Seperti hari-hari sebelumnya pagi itu seluruh keluargaku beranjak meninggalkan sarang untuk mencari biji-biji kecil sebagai asupan nutrisi penunjang kehidupan tak berarti kami. “Mari kita pergi ke sawah seberang jalan. Di sana banyak padi yang mulai menguning.” Indukku dengan semangat memberi arahan kepada kami tentang tempat di mana makanan banyak tersedia. “Maaf Bu, aku tidak ikut. Aku kurang enak badan, aku menunggu di sarang saja.” Aku berkilah padahal sebenarnya aku teramat malas pada hari itu. “Baiklah, nanti Ibu akan bawakan sedikit gabah untukmu.” Dengan bodohnya indukku mempercayai kilahku. Ku lihat indukku dan beberapa saudaraku pergi meninggalkan aku untuk mencari makan di sawah seberang jalan. Semakin lama bayangan mereka tak terlihat lagi. Dengan piciknya aku hanya terdiam di sarang dan menanti indukku datang membawa gabah untuk ku makan tanpa harus berlelah-lelah terbang. Dari yang awalnya matahari masih malu-malu menampakkan jati diri di ujung timur hingga sekarang telah berada di ubun-ubun, induk dan saudara-saudaraku tak kunjung pulang. Padahal biasanya hanya dalam sekejap mereka telah mendapat banyak gabah. “Pasti ada yang tidak beres.” Pikirku dengan hati dag-dig-dug khawatir akan keselamatan mereka. Aku memutuskan terbang menuju ke sawah seberang jalan untuk mengecek kondisi keluargaku itu. Setelah beberapa lama terbang mengitari sawah hingga rasa lelah mulai mendera sayap kecilku. Namun, tak kunjung ku temukan keberadaan mereka. “Cuit… cuit… cuit… cuit…” terdengar suara yang tak asing lagi bagi pendengaranku. Aku sapukan pandangan ke seluruh penjuru hingga pandangan sampai di pematang sawah sebelah barat. Ternyata induk dan saudara-saudaraku terperangkap oleh jaring yang terpasang mengelelilingi sawah. Sehingga setiap ada burung melintas pasti akan terperangkap oleh jaring tersebut. Untung saja tadi aku tidak terperangkap. Segera aku mendatangi induk dan saudaraku. Terlihat mereka sedikit kesakitan karena terjepit oleh jaring-jaring sempit. “Ibu tidak apa-apa?” Seketika itu juga aku mulai cemas. “Tidak apa-apa Nak. Sudah sekarang kamu pergi. Jangan hiraukan keselamatan Ibu dan saudara-saudaramu. Lihat di sana ada manusia yang setiap saat bisa menangkapmu!” Benar saja, ada seorang anak laki-laki bertompel di dagu sebelah kirinya datang menuju ke jaring sempit itu. “Tapi bagaimana dengan Ibu dan saudara-saudaraku?” Rasa cemas mulai menguasai diriku. “Sudah Pergi sana, Ibu hanya ingin melihatmu selamat!” dengan air mata yang terus menggedor kelopak mata berusaha sekuat tenaga ke luar dari mata kecilku aku akhirnya pergi meninggalkan induk dan saudara-saudaraku. “Maafkan aku semua!” Aku berteriak sembari meninggalkan mereka. Ku lihat dari kejauhan sang anak laki-laki itu membebaskan induk dan saudara-saudaraku. “Huhh…” Perasaan tenang mulai membara di dalam jiwa. Ternyata si anak itu malah membebaskan ibuku. Tapi setelah ku amati dengan sedikit memicingkan mata si anak laki-laki itu memasukkan mereka ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu. “Ah, Sial!” Gerutuku dari ranting pohon itu. Semenjak itulah aku tak lagi pernah melihat induk dan saudara-saudaraku. Sungguh sangat menyesal diriku, mengapa aku tidak menyelamatkan mereka. Kenapa aku tinggalkan mereka dalam keadaan terperangkap. Sungguh bodohnya aku. Akhir-akhir ini ku tahu bahwa induk dan saudara-saudaraku dijadikan burung pipit warna yang dijual kepada anak-anak manusia lugu. Tubuh induk dan saudara-saudara telah berubah menjadi warna-warni karena diguyur dengan pewarna tekstil. Aku tak tega melihat mereka menjadi mainan anak-anak manusia yang lugu. Tapi, apa boleh buat tak ada lagi yang dapat aku lakukan untuk menyelamatkan mereka. Bayangkan saja mereka dikurung di dalam sangkar buatan yang sempit dengan kunci yang rapat. Sungguh mustahil bagiku sebagai seekor burung untuk dapat membuka kunci sangkar itu. Memang hidup kaumku tak begitu berguna di dunia ini. Namun, paling tidak kami mati dalam keadaan terhormat bukan mati karena menjadi mainan anak-anak manusia yang bodoh dan naif itu. Ah sudahlah, biar aku menikmati kesendirianku. Ingin ku buang masa laluku yang begitu anyir untuk diingat. Matahari memang masih berada di atas ubun-ubun namun kini sinarnya tak lagi segagah tadi karena tertutup awan hitam. Kelihatannya akan segera turun hujan. Benar saja, beberapa saat kemudian hujan turun dengan derasnya. Untung aku masih bertengger di pagar rumah kosong itu sehingga tubuhku tak basah oleh terpaan agung sang hujan. “Hei pipit kenapa wajahmu kecut seperti itu. Macam tak ada semangat hidup saja.” Tiba-tiba terdengar suara sayu dari sang hujan. “Ah hujan, seperti tak tahu saja engkau atas penderitaan hidupku ini!” Wajahku ku tundukkan memelas kepada hujan. “Oh, engkau masih memikirkan kejadian itu?” Hujan memang paling tahu seluruh masalahku setelah ditinggal pergi keluargaku. Memang terkadang aku sering mencurahkan isi hatiku kepada hujan. “Iya, sekarang ini hidupku sepi. Hidupku yang memang sudah sejak awal tak berguna ini semakin menjadi-jadi. Kepedihan semakin senang mampir di hidupku. Hidupku tak bermakna, lebih baik mati saja aku.” Kembali aku berbagi kepedihan kepada hujan. Bersyukurlah masih ada hujan yang menerima kepedihanku. “Jangan kau berkata seperti itu, coba tengok diriku. Aku hanyalah setetes air yang kemudian turun secara bersamaan dari atas langit. Setiap kedatanganku selalu mambawa bencana juga sebuah makna bagi bumi ini.” “Memang tak ada makhluk yang sempurna kecuali sang Maha Sempurna pencipta kita. Kita digariskan lahir ke bumi ini pasti akan membawa sebuah makna dan juga sebuah pedih. Sama halnya juga dengan manusia mereka dilahirkan di dunia ini membawa seratus kemajuan namun juga mendatangkan ribuan kerusakan. Intinya tetaplah bersyukur kepada Sang Maha Sempurna walau dirimu hanyalah seekor pipit karena hakikatnya kau terlahir di dunia juga membawa ribuan guna.” Hujan kembali mengeluarkan kata-kata bijaknya yang membuat aku tersadar bahwa aku kurang bersyukur kepada Maha Pencipta. Manusia yang katanya makhluk tersempurna saja sering membuat kesalahan dan kerusakan apalagi aku yang hanya seekor pipit. Beberapa waktu kemudian hujan pun mereda meninggalkan sebuah cerita bermakna penambah semangat dalam hidupku. Seiring dengan meredanya hujan aku pun pergi terbang menuju kembali ke sarang sembari menikmati kesendirian yang tak berujung ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar